Lembaga Kebudayaan Nasional, DEMOKRASI TERCIPTA HANYA OLEH KEDEWASAAN



JAKARTA –  Demokrasi hanya akan tercipta melalui kedewasaan para pelakunya yang mengantarkan kepada  keberadaban, bukan oleh pemahaman sempit mengedepankan kebebasan sebebas-bebasnya.    


“Pemahaman sempit seperti itu pertanda niredukasi, dan karenanya wajar bila lahir tindakan-tindakan yang abai moral dan etika. Jika dibiarkan berlama-lama, bukan mustahil brutalitas baik verbal maupun fisik dianggap sudah biasa bahkan terpuji. Bukti-bukti itu sudah ada,” urai Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Pusat, Suryadi, M.Si, Selasa (24/11/20) di Jakarta. 


Realitas seperti itu, harapnya, justru seharusnya menjadi semacam “call wake up” bagi berbagai pihak  untuk berbuat lebih banyak mengedukasi dan memberi teladan kebaikan. 


Pihak-pihak yang terdepan memberi teladan itu, menurutnya, adalah para tokoh panutan dan cerdik pandai di masyarakat. Kemudian, pada saat yang sama diikuti juga oleh para pejabat, legislator, dan mereka yang sehari-hari bertugas di bidang hukum dan penegakkannya.  


Keteladanan semacam itu, lanjut Suryadi, sebenarnya sudah ada, baik terkait langsung atau tidak langsung dengan persoalan-persoalan sehari-hari kehidupan masyarakat. Keteladan serupa ini berlangsung terus-menerus sudah sejak lama sampai Indonesia –juga dua ratusan negara lain-- dilanda persoalan ekonomi sebagai dampak serbuan virus corona atau covid-19 yang berkepanjangan. Hingga ini, serbuan covid-19 sudah memasuki bulan ke-11 dan sangat menguras keuangan negara. 


Pada berbagai belahan Tanah Air, misalnya di Provinsi Banten, para alim ulama ‘berjalin aksi’ dengan institusi Polri dan TNI melakukan pendekatan-pendekatan yang menyejukkan. Polri dan TNI di Banten, dalam hampir setiap gerak kemasyarakatannya, senantiasa menyertakan tokoh masyarakat khususnya alim-ulama yang memang sudah mengkultur dalam kehidupan masyarakatnya.


 “Misalnya, Polri di Banten punya rutinitas kegiatan ‘Jumat Berbagi – Jumat Barokah’. Kegiatan ini  senantiasa membuat mereka yang disantuni terharu dan menitikkan air mata. Ada kepedulian untuk tak lelah berbagi. Jadi, tidak cuma terjebak dalam rutinitas tugas pokok,” ungkap Suryadi.    

     

Jadi, keteladanan semacam itu bukan tidak ada, tetapi ibarat sinar yang terpendar-pendar “diserbu” oleh masifnya gaung teriak dari mereka yang lebih senang berapi-api membakar kebencian atas kecemburuan sosial.   

Demokrasi yang asal Barat itu, tidak harus diadopsi, tapi diadaptasi oleh filterisasi budaya kesetempatan. Jadi, menghadapi hal semacam itu, ia menolak pendapat yang menyatakan bahwa kedewasaan berdemokrasi butuh waktu lama seperti ratusan tahun dialami oleh Amerika Serikat (AS). 


“Kalau sudah ada contoh negara lain perlu ratusan tahun, mengapa kita tidak mempelajari supaya Indonesia yang katanya berbudaya musyawarah tak perlu berlama-lama seperti itu. Kalau hari ini lebih buruk dari kemarin, artinya apa itu?,” tanya Suryadi.  


Dalam negara demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi demokrasi tidak mungkin memberi kepuasan kepada seluruh rakyat. Kompensasi dari itu, demokrasi memberi ruang untuk berbeda dalam suatu proses mencapai kesepahaman.


Jadi, lanjutnya, bukan karena demokrasi itu adalah bermakna ‘dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat’, lantas boleh dimaknai rakyat boleh berbuat semau-maunya. “Ada kebebasan dalam ruang yang dibingkai oleh tertib,” jelasnya.


Sebab, lanjut Suryadi, pemaknaan yang keliru terhadap demokrasi, sama dengan membuka ruang untuk dieskalasikan oleh individu, tokoh, atau kelompok dalam rangka mereka menarik keuntungan dan pengaruh, baik secara politik demi kekuasaan maupun sekadar kepuasaan jangka pendek. 


“Bahayanya, kalau itu dimanfaatkan oleh pihak yang secara terang-terangan mempertentangkan ‘kami dan mereka’ dengan bersikap dialah yang paling benar, di luar  itu musuh dan harus diperangi,” kata Suryadi yang mempelajari sejarah dan politik itu.


Dalam pengamatannya, memang ada sebagian orang pada anak bangsa ini yang justru memanfaatkan kondisi semacam itu untuk kepentingan sendiri dengan mengkamuflase seolah demi kepentingan keumatan. “Celakanya, itu dibangun lewat sentimental kalimat-kalimat kebencian  yang meletupkan kecemburuan menjadi permusuhan,” ujarnya.


SOAL BALIHO  

Terkait dengan militer di dalam negara demokrasi, kata Suryadi, memang diatur oleh apa yang disebut operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Untuk tentara di Indonesia yang  secara historis lahir langsung dari rahim rakyat, juga sudah diatur sedemikian rupa.


Maka, lanjut Suryadi, dalam peristiwa penurunan baliho-baliho oleh sejumlah tentara di wilayah Kodam Jaya, wajar bila tegas diakui dengan penuh tanggung jawab oleh Pangdam Mayjen TNI Dudung Abdurachman sebagai perintah langsung darinya.


Suryadi tidak ingin membacanya dalam kerangka OMSP apalagi OMP. Apalagi, lanjutnya, Irjen Pol. Dr. Fadil Imran usai dilantik menjadi Kapolda Metro Jaya menegaskan dukungannya terhadap jenderal sejawatnya dalam Forkopimda DKI Jakarta itu.


Pertimbangan sejarah itu rasional, bukan mengada-ada. Itu sebabnya, Suryadi berpandangan lain tentang langsung turun tangannya militer menggelar semacam “show of force” bahkan dilanjutkan dengan tindakan nyata menurunkan baliho-baliho yang dipandang tidak sesuai dengan aturan.  


“Baliho-baliho itu jangan dilihat sekadar benda yang lantas dikait-kaitkan dengan hak rakyat dalam negara demokrasi. Tapi, coba lihat kan juga ada seruan-seruan yang bisa dipahami bakal membuat perpecahan pada rakyat banyak sebagai bagian dari mayoritas bangsa ini. “Call wake up” untuk bertindak bagi TNI itu bukan cuma bangkit oleh yang tersurat, tapi juga keterpanggilan patriot bangsa,” kata Suryadi. 

   

Justru yang patut kita dalami bersama, lanjutnya, bahwa tidak mungkin TNI turun tangan langsung bila tak ada alasan kuat untuk turun tangan di alam yang setiap detik orang bisa bebas mengekspresikan koreksinya secara nyata.   


Meski ada yang kontra, harus diakui di Indonesia yang sedang menuju negara demokrasi ini, terbukti banyak yang mendukung tindakan TNI di Jakarta itu. Tindakan serupa banyak pula diikuti oleh pihak  berwenang seperti di Jateng, Jabar, da Banten. 


Bahkan, ada pula –termasuk di Banten-- penolakan kedatangan tokoh yang ‘dibalihokan’, bila tujuan kedatangannya sekadar untuk memecah belah kerukunan masyarakat nan beragam.


Sebelum penurunan baliho-baliho tersebut, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto sudah lebih dahulu melontarkan call wake up kepada segenap prajurit TNI. Ia menegaskan, siapa pun pemecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, akan berhadapan dengan TNI. 


Selanjutnya, ia juga melakukan inspeksi mendadak kesiap-siagaan pasukan khusus di ketiga matra angkatan dalam TNI. Inspeksi langsung dilakukan dengan aple cepat di kesatrian Kopasus TNI AD, Marinir TNI AL, dan Kopaskhas TNI AU . ***

Posting Komentar

0 Komentar